Open Cbox

Biografi S.K. Trimurti

Biografi S.K. Trimurti

Nama              : Soerastri Karma Trimurti (S.K. Trimurti)
Lahir                : Boyolali, Jawa Tengah,11 Mei 1912
Suami             : Sayuti Melik (tokoh terkenal pengetik naskah otentik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945)
Menikah         : Tahun 1938
Bercerai          : Tahun 1969
Profesi Awal  : Sebagai guru di Sekolah Dasar Khusus Putri, di Surakarta dan Banyumas, serta di Perguruan Rakyat, Bandung.
Nama Media Bekerja: Pesat, Bedug, dan Genderang
Hobbi              : Sebagai penikmat yoga semenjak usia muda
Penghargaan : Bintang Mahaputra Tingkat V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno
Alamat Rumah    : Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Senen, Jakarta Pusat

SK Trimurti adalah seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Nama beliau tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dan punya tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto bersejarah pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa muda, ia berkecimpung di dunia pendidikan sebagai guru di Sekolah Dasar Khusus Putri, di Surakarta dan Banyumas, serta di Perguruan Rakyat, Bandung. Selain itu beliau terlibat pula dalam kegiatan politik sebagai kader Partindo. Karena menyebarkan pamflet anti-penjajah, beliau dipenjarakan oleh Belanda pada tahun 1936 di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang. Setelah dibebaskan penjara, karena tidak diperbolehkan lagi mengajar, beliau bekerja di sebuah percetakan. Di sinilah beliau mulai aktif menjadi wartawati dan menulis di majalah Pikiran Rakyat, Pesat, Bedug dan Genderang dengan nama samaran Karma atau Trimurti.
Pada tahun 1938 menikah dengan Sayuti Melik dan bersama-sama berjuang. Namun karena tulisan-tulisannya dianggap membahayakan pemerintahan kolonial, Trimurti dipenjarakan lagi oleh Belanda tahun 1939-1943.
Pada masa awal kemerdekaan, beliau diangkat menjadi Menteri Perburuhan di dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Pensiun dari jabatan menteri, beliau diangkat menjadi anggota Dewan Nasional RI. Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. Pada kurun waktu 1962-1964, menjadi utusan Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker's Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Atas jasanya dalam masa perintisan kemerdekaan, Presiden RI Soekarno menganugerahkan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Dari perkawinan dengan Sayuti Melik lahir dua orang putra bernama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro. Nama S.K. Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Beliau adalah sosok wartawan senior yang hidup dalam tiga zaman dan telah mengukir perjalanan hidupnya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sifatnya yang tak kenal lelah telah memberi teladan yang baik bagi seluruh masyarakat. Mungkin pada masa sekarang banyak orang yang tak mengenal beliau sebagai salah satu Jurnalis yang sangat hebat pada masa lampau. Oleh karena itu kita akan membahas perjalanan hidup beliau yang luar biasa berikut ini.
Soerastri Karma Trimurti dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, tanggal 11 Mei 1912. Beliau adalah putri dari pasangan R Ngabehi Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa dia menentukan sikap untuk tetap tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ir Setiadi Reksoprojo, yang sama-sama menjadi menteri dengan S.K. Trimurti dalam Kabinet Amir Sjarifuddin pada tahun 1947 mengatakan bahwa S.K. Trimurti adalah orang yang sangat kritis dan berwawasan jauh ke depan. Hidup beliau kesehariannya dihiasi oleh kesederhanaan dan rendah hati. Sebenarnya sebagai mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin I dan Kabinet Amir Syarifuddin II, beliau berhak atas rumah yang layak di kawasan Menteng, tetapi ia memilih rumah sederhana di Jalan Kramat Lontar. Karena beliau merasa lebih dekat dengan kampung dan ingin tinggal dekat dengan rakyat biasa.

Wartawan Tiga Zaman
Nama S.K. Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda sudah menjalani hidup di bui (1936-1943) karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara ketika itu. Di usia tua, hidupnya tetap penuh semangat, penuh canda dan tampak semakin enteng saja menjalani hidup.
Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.
Perempuan bertubuh mungil kelahiran tahun 1912 ini adalah istri Sayuti Melik tokoh terkenal pengetik naskah otentik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mereka menikah tahun 1938 namun 31 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1969 Sayuti Melik setelah menikah lagi harus menjadi mantan suami yang tetap dia hormati.
Wartawan tiga jaman itu tetap rajin latihan yoga sehingga dia dengan mudah dapat mencium lutut. Di usia tua perawakan tubuhnya tetap mungil, sikapnya tetap ramah, hidupnya tetap penuh semangat, rasa humornya masih tetap menampilkan canda dan kelihatannya dia semakin enteng saja menjalani hidup.
Karena orang terbiasa mengenalnya dengan nama S.K. Trimurti atau Soerastri Karma Trimurti membuat nama yang sudah masuk dalam catatan sejarah Indonesia modern tersebut terlupakan sebagai nama yang tak lebih dan tak kurang hanyalah samaran belaka.
Karma dan Trimurti adalah nama samaran yang dia pakai secara bergantian untuk menghindari delik pers pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Bukti bahwa dia berjuang melepaskan diri dari siasat kekangan delik pers Belanda adalah bahwa anak keduanya terlahir di lorong penjara saat harus menjalani hidup di bui antara tahun 1939-1943.
Sebagai penikmat yoga semenjak usia muda yang pada Mei 2000 lalu lututnya pernah terluka gara-gara terjatuh ketika hendak duduk bahkan membuatnya sempat harus dirawat di rumah sakit, Trimurti bisa dengan cepat memulihkan lukanya. Dengan yoga dia kembali dapat dengan mudah memamerkan begitu mudahnya dia mencium lutut. "Saya berlatih yoga sejak muda," jelas anggota Petisi 50 ini.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.
Kendati sudah berusia uzur Trimurti masih sempat wira-wiri ikut rapat Petisi 50 setiap hari Selasa bahkan terkadang hadir sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Beruntunglah terhadap pejuang pers kemerdekaan ini masih Tuhan anugerahkan sebuah kehidupan yang berlimpah sehat walafiat di sebuah rumah sederhana miliknya di Jalan Kramat Lontar H-7 di daerah Kramat, Jakarta.
Di depan rumahnya itu bajaj bebas berseliweran yang suara gaduhnya sesewaktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat atau anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, misalnya.
Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100x60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti. Dia tercengang mengenang sebentar, "Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!" tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.
Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat. Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.
Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas. Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. "Wong saya baca saja pake kaca pembesar!" ujarnya penuh rasa humor.

Pejuang
Nama SK Trimurti tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dan punya tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Putri pasangan R Ngabehi Salim Banjaransari dan RA Saparinten binti Mangunbisomo yang dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, tanggal 11 Mei 1912 itu tertarik masuk ke dunia pergerakan setelah mendengarkan pidato-pidato Bung Karno.
Ia mengikuti kursus kader yang diadakan Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 setelah lulus dari Tweede Indlandche School atau Sekolah Ongko Loro dan sempat mengajar. Bu Tri menjadi pejuang militan, sampai dipenjarakan Belanda di Semarang tahun 1936 karena menyebarkan pamflet antipenjajah.
Ia kembali masuk penjara tahun 1939 karena tulisan-tulisannya di media massa dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Saat itu ia baru setahun menikah dengan Sayuti Melik, tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi, dan mengetik naskah proklamasi. Anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman (meninggal tahun 2005), lahir dalam penjara. Bu Tri baru keluar dari penjara pada tahun 1943.
Dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Hubungan Bu Tri dengan Bung Karno terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Bu Tri dikenal antipoligami. Namun, sikap itu tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Tahun 1956 ia memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.

Perjalanan dan perjuangan S.K Trimurti
S.K Trimurti pertama kali mulai aktif pada masa mudanya dengan berkecimpung di dunia pendidikan sebagai guru di Sekolah Dasar Khusus Putri, di Surakarta dan Banyumas, serta di Perguruan Rakyat “Pasirkaliki”, Bandung bersama dengan Sanusi Pane. Keinginan menulis dan berjuang S.K Trimurti tidak serta merta muncul pada masa kecilnya atau remajanya. Beliau mulai tertarik untuk ikut serta dalam dunia pergerakan kemerdekaan saat mendengar pidato-pidato perjuangan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Kemudian S.K Trimurti mengikuti kursus kader yang diadakan oleh Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 setelah lulus dari Tweede Indlandche School atau Sekolah Ongko Loro. Mulai dari situlah beliau aktif dalam kegiatan politik setelah menjadi kader Partindo selain tetap mengemban tugasnya sebagai guru.
Saat mengajar di sekolah dasar khusus wanita di Bandung itu, S.K Trimurti menyebarkan pamflet antipenjajah kepada murid-muridnya dan kepada masyarakat luas. Aksi tersebut dibayar mahal olehnya sendiri. Beliau harus merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah dan dituduh menghasut murid-muridnya.
Ketika beliau keluar dari penjara, Belanda melarang S.K Trimurti untuk kembali menjadi pengajar. Akhirnya beliau dipertemukan dengan Soekarno pada waktu itu. Sosok Soekarno adalah sosok yang ikut andil dalam mendorong S.K. Trimurti ke dunia pers. Putri seorang wedana itu ditantang untuk menulis di surat kabar “Fikiran Rakjat” yang dipimpin oleh Soekarno sendiri waktu itu. "Kau bisa," kata Bung Karno ketika S.K. Trimurti mengatakan belum pernah menulis di koran. Di surat kabar inilah kemampuan menulis dari seorang S.K Trimurti semakin berkembang. Sehingga beliau lambat laun menjadi jurnalis yang professional dengan kemampuan berpikir luar biasa. Namun sayangnya ketika Bung Karno ditangkap oleh kaum penjajah, surat kabar itu sudah tidak terbit lagi.
Kemudian, S.K. Trimurti hijrah ke kota Solo dan mendirikan majalah berbahasa Jawa, “Bedug”. Misi majalah ini adalah untuk menggugah kesadaran rakyat luas bahwa mereka adalah bangsa yang terjajah. Majalah S.K. Trimurti yang didirikannya pertama ini mendapat kendala yaitu bahasa yang digunakan. Pembaca majalah ini hanyalah sebatas orang-orang Jawa atau orang yang dapat berbahasa Jawa. Sehingga mustahil majalah ini dapat berkembang dan dapat dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia dalam bahasa seperti ini.
S.K. Trimurti sangat ingin meluaskan pembacanya. Kemudian beliau kembali merintis majalah baru bernama “Terompet”. Majalah ini telah menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat membaca isinya. Namun kali ini perjuangan S.K. Trimurti kurang mendapatkan restu dari orang tuanya sendiri, dan beliaupun langsung memutuskan untuk berpindah ke Yogyakarta bersama teman-temannya. Di kota ini, S.K. Trimurti mendirikan “Suara Marheni” yang ditujukan kepada kaum perempuan.
Kegigihan S.K Trimurti dalam menentang penjajahan dan ketidakadilan di Indonesia tercermin dari tulisan-tulisannya yang tak pernah berhenti untuk menghujani para penjajah dengan kritikan yang tajam. Walaupun aksi itu harus membuatnya terkurung dalam jeruji besi. Dalam melakukan profesinya sebagai jurnalis, S.K Trimurti menggunakan nama Karma dan Trimurti secara bergantian sebagai nama samaran. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pengejaran dari pihak kolonial Belanda yang sangat benci pada beliau pada waktu itu.
Pada tahun 1937, S.K Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik yang juga merupakan seorang aktivis politik. Dan tepat pada tanggal 19 Juli 1938 mereka berdua akhirnya mengikat janji untuk menjadi suami istri. Setelah menjadi pasangan suami istri, mereka tidak menyurutkan semangat perjuangan kemerdekaan. Pasangan suami istri ini saling bahu membahu dalam dunia perjuangan. Dari perkawinannya dengan Sayuti Melik, S.K Trimurti dikaruniai dua orang putra bernama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
S.K Trimurti tidak pernah gentar untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsanya melalui jurnalistik. Tulisannya telah sangat dikenal luas dan berpengaruh bagi rakyat. Ideologi jurnalistiknya tidak pernah padam oleh tekanan sebesar apapun dari penjajah. Akhirnya beliau kembali dipenjarakan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1939 – 1943, karena tulisan-tulisannya kembali dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Saat itu beliau baru saja satu tahun menikah dengan Sayuti Melik. Anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman (meninggal tahun 2005), dengan rela harus terlahir dalam kurungan penjara.
S.K Trimurti telah dianggap sebagai orang yang berjasa pada masa pra kemerdekaan. Beliau menjadi saksi otentik dari pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno. Bahkan saat pengibaran bendera merah putih, ada beberapa orang yang meminta kesediaan S.K Trimurti untuk mengibarkannya. Hal itu adalah saat yang terhormat bagi beliau, namun beliau menolaknya dan menjawab
bahwa sebaiknya hal itu dilaksanakan oleh anggota PETA yang memang sudah terbiasa dalam pengibaran bendera.
Karena Sayuti Melik akhirnya menikah lagi dengan perempuan lain, maka S.K Trimurti harus bercerai dengannya. Namun beliau tetap berbesar hati menerima semua itu, dan tetap tidak mengurangi rasa hormatnya kepada Sayuti Melik sebagai mantan suaminya



S.K Trimurti dalam Masa Kemerdekaan
“ Jurnalis yang tak kenal lelah”. Mungkin ungkapan itu sangat pantas diberikan kepada pejuang yang satu ini. Kemerdekaan yang telah diraih Indonesia tidak begitu saja membuat beliau berhenti beraktifitas. Semangat jurnalistik yang tajam tetap berkobar-kobar dalam hatinya.
Dalam masa awal kemerdekaan Indonesia, S.K Trimurti telah dipercaya menjadi menteri perburuhan di dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. Setelah itu beliau menjadi anggota Dewan Nasional RI.
Pada tahun 1956 ia memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Dalam kesibukannya sekalipun, S.K Trimurti tetap menuangkan pikiran-pikirannya melalui tulisan. Dalam tulisan-tulisan yang dihasilkan, jelas sekali keberpihakannya terhadap perempuan dan rakyat miskin. Beliau sempat menolak gagasan berdirinya Partai Politik Wanita di tahun 1946. Menurut dia, lebih efektif bila perjuangan mengangkat harkat perempuan itu tidak hanya dilakukan oleh kaum wanita sendiri, tetapi dilakukan bersama-sama dengan kaum pria.
S.K Trimurti juga sangat memperhatikan kaum buruh yang ada di tanah air ini. Banyak argumen-argumennya yang memihak kepada kaum buruh. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Bermaksud ingin lebih kuat dalam mengungkapkan argumen-argumennya dalam membela kamu buruh, maka S.K Trimurti belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Padahal usia beliau saat itu telah mencapai 41 tahun. Beliau bertekad untuk menyelesaikan studinya dengan baik, dan memuaskan. Padahal di tahun 1959, Soekarno ingin menunjuk S.K. Trimurti sebagai menteri sosial. Tetapi, S.K Trimurti menolak jabatan tersebut karena beliau bertekad keras menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Bayangkan saja, Ketika hari ini sangat banyak orang berebut untuk menjadi menteri, seorang perempuan bernama S.K. Trimurti berani menolak jabatan yang terhormat tersebut. Akhirnya, S.K Trimurti berhasil menyelesaikan pendidikan ekonominya pada tahun 1960. Presiden Soekarno ikut serta menyaksikan acara wisuda S.K Trimurti saat itu.
Pada tahun 1962 -1964, S.K Trimurti diutus oleh Badan Perancang nasional ( sekarang Bappenas ) ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker's Management dan juga ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk keperluan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi.
S.K. Trimurti berani mengkritik pemerintahan Soekarno waktu itu, termasuk prinsip poligami yang dianut oleh sang presiden. Hubungan beliau dengan Presiden mulai terganggu ketika Presiden menikah kembali dengan Hartini. Namun aktivitasnya tidak membuat Presiden Soekarno membenci dan merendahkannya. Malahan Presiden menganugerahkan kepada S.K Trimurti Bintang Mahaputra Tingkat V karena jasa-jasa dan jerih payahnya dalam meraih kemerdekaan hingga sekarang.
Tahun 1980, S.K Trimurti ikut menandatangani Petisi 50. Melalui penandatanganan petisi tersebut, ruang gerak beliau menjadi sangat dibatasi. Sejak dari situlah kemampuan S.K Trimurti perlahan mulai berkurang. Namun semangatnya tetap saja ada. Buktinya, beliau tetap aktif menghadiri berbagai kegiatan pada era reformasi dalam usianya yang kian lanjut. Pada saat peresmian rumah jompo di Kramat, Jakarta yang dilakukan oleh Gus Dur pada tahun 2004, S.K. Trimurti masih bersemangat bernyanyi dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Belanda.
Kini sosok jurnalis yang tak mengenal lelah S.K Trimurti telah tiada. Namun jasa-jasa dan semangatnya yang besar tetap membekas di hati masyarakat Indonesia. Sosoknya sangat patut diteladani oleh masyarakat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

1 komentar:

Copyright © 2012 Johann'sBlogTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.